GCG

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang permasalahan
Isu hangat yang menarik perhatian para ekonom dan pelaku bisnis di Indonesia saat ini adalah tentang Good Corporate Governance (GCG). Sejak adanya krisis finansial di berbagai negara di tahun 1997-1998 yang diawali krisis di Thailand (1997), Jepang, Korea, Indonesia, Malaysia, Hongkong dan Singapura yang akhirnya berubah menjadi krisis finansial Asia ini dipandang sebagai akibat lemahnya praktik Good Corporate Governance (GCG) di negara-negara Asia. Ini disebabkan adanya kondisi-kondisi obyektif yang relatif sarna di negara-negara tersebut antara lain adanya hubungan yang erat antara pemerintah dan pelaku bisnis, konglomerasi dan monopoli, proteksi, dan intervensi pasar sehingga membuat negara-negara tersebut tidak siap memasuki era globalisasi dan pasar bebas (Tjager dkk., 2003).
Adanya kegagalan beberapa perusahaan dan timbulnya kasus malapraktik keuangan akibat krisis tersebut adalah buruknya praktik Corporate Governance (CG). Menurut Pangestu dan Hariyanto (dalam Suprayitno dkk., 2004), karakteristik lemahnya praktik CG di Asia Tenggara adalah (1) adanya konsentrasi kepemilikan dan kekuatan insider shareholders (termasuk pemerintah dan pihak-pihak yang berhubungan dengan pusat kekuatan), (2) lemahnya governance sektor keuangan, dan (3) ketidakefektifan internal rules dan tidak adanya lindungan hukum bagi pemegang saham minoritas untuk berhadapan dengan pemegang saham mayoritas dan manajer.
GCG akhirnya menjadi isu penting, terutama di Indonesia yang merasakan paling parah akibat krisis tersebut dan masih berlanjut sampai saat ini. Disamping itu, banyaknya kasus pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan emiten di pasar modal yang ditangani Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM) menunjukkan rendahnya mutu praktik GCG di negara kita. Misalnya pada tahun 2001 adanya dugaan insider trading atas saham PT Bank Central Asia. Insider trading adalah salah satu perilaku buruk yang dilakukan orang dalam PT. BCA pada proses transaksi saham. Ini terlihat dalam bentuk gejolak di dalam transaksi dan pergerakan harga saham bank tersebut menjelang rencana divestasi. Diduga hal ini berhubungan dengan adanya pihak manajemen yang mengetahui serta memanfaatkan momentum penjualan saham kepada investor strategis untuk memperoleh keuntungan dengan memanipulasi informasi. Praktik perdagangan dengan menggunakan hak akses informasi oleh orang dalam (inside information) ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap salah satu prinsip GCG, yaitu kewajaran (fairness).
Contoh lainnya adalah terungkapnya kasus mark-up laporan keuangan PT. Kimia Farma yang overstated, yaitu adanya penggelembungan laba bersih tahunan senilai Rp 32,668 miliar (karena laporan keuangan yang seharusnya Rp 99,594 miliar ditulis Rp 132 miliar). Kasus ini melibatkan sebuah Kantor Akuntan Publik (KAP) yang menjadi auditor perusahaan tersebut ke pengadilan, meskipun KAP tersebut yang berinisiatif memberikan laporan adanya overstated (Tjager dkk., 2003). Dalam kasus ini terjadi pelanggaran terhadap prinsip pengungkapan yang akurat (accurate disclosure) dan transparansi (transparency) yang akibatnya sangat merugikan para investor, karena laba yang overstated ini telah dijadikan dasar transaksi oleh para investor untuk berbisnis.
Skandal keuangan juga terjadi di negara maju, seperti di Amerika Serikat (AS) dengan adanya kasus Enron. Sejak tahun 2000, Enron adalah sebuah perusahaan yang established dengan pertumbuhan finansial yang pesat sehingga Enron menjadi salah satu dari 10 perusahaan terbesar di AS. Skandal mulai terungkap ketika awal tahun 2002, perhitungan atas total revenue Enron di tahun 2000 yang dinyatakan berjumlah 100,8 miliar US dolar (USD), dihitung kembali oleh Petroleum Finance Company (PFC) menjadi hanya 9 miliar USD. Ketika kebangkrutan mulai terjadi, harga saham Enron dengan cepat turun dari sekitar 80 USD menjadi kurang dari satu dolar. Skandal finansial "megadolar" yang disebabkan adanya misleading financial statement membawa dampak yang luar biasa antara lain: Enron pailit, kurangnya kepercayaan atas informasi keuangan, rusaknya citra profesi akuntan di Amerika, dan hilangnya ratusan juta dolar uang yang diinvestasikan di Enron serta hilangnya pekerjaan atas ribuan karyawan Enron.
Dirunut ke belakang, penerapan GCG tidak terlepas dari teori keagenan (agency theory) yang melandasinya yang mengasumsikan adanya konflik kepentingan antara pihak eksekutif (agen) dengan pihak pemegang saham (principal) dan stakeholder lainya.
Pihak eksekutif perusahaan yang mestinya bertindak untuk dan atas kepentingan pemilik tidaklah selalu menjalankan semua "amanah" yang dibebankan ke pundaknya. Iming-iming untuk mengambil kesempatan dalam rangka memenuhi kepentingannya sendiri senantiasa datang menggoda.
Dalam kondisi seperti itulah GCG hadir. Penerapan GCG diharapkan meningkatkan pengawasan terhadap manajemen untuk mendorong pengambilan keputusan yang efektif, mencegah tindakan oportunistik yang tidak sejalan dengan kepentingan perusahaan, dan mengurangi asimetri informasi antara pihak eksekutif dan para stakeholder perusahaan. Dengan demikian GCG diharapkan mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan landasan yang kokoh untuk berlangsungnya operasional perusahaan yang baik, efisien dan menguntungkan. Akibat adanya perilaku manajemen yang tidak transparan dalam penyajian informasi ini akan menjadi penghalang adanya praktik GCG pada perusahaan-perusahaan karena salah satu prinsip dasar dari GCG adalah Transparency (keterbukaan).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dalam rangka menegakkan prinsip GCG pada perusahaan-perusahaan di Indonesia, khususnya prinsip transparansi dan akuntabilitas, penyajian informasi akuntansi yang berkualitas dan lengkap dalam laporan tahunan sangat diperlukan. Hal ini akan memberikan manfaat yang optimal bagi pemakai laporan keuangan dalam pengambilan keputusan. Untuk itulah dalam uraian berikut ini akan dibahas tentang Agency Theory sebagai awal timbulnya isu tentang Good Corporate Governance (GCG), kemudian Good Corporate Governance beserta prinsip-prinsip yang melandasinya, dan peran akuntan dalam menegakkan prinsip GCG di Indonesia. Konsepsi CG dalam bahasan ini didasarkan sudut pandang organisasi perusahaan privat sebagai open system. Burrel dan Morgan (1979) menyatakan bahwa suatu organisasi mempunyai fungsi yang sama dengan organisme yang berhadapan dengan lingkungannya. Untuk dapat bertahan hidup, organisasi tersebut harus menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana organisasi tersebut berada (misal budaya masyarakat, pemerintah, aturan dan regulasi lainnya)
Berdasarkan uraian diatas maka dalam penulisan paper,kami tertarik untuk mengangkat judul”Peran Akuntan Publik dalam menegakkan prinsip Good Coorporation Governance Perusahaan di Indonesia (pendekatan agency theory)”

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka rumusan masalah pada penulisan ini adalah “Bagaimana Peran akuntan Publik dalam menegakkan prinsip Good Coorporation Governance pada perusahaan di Indonesia?”
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peran akuntan dalam menegakkan prinsip Good Coorporation Governance pada perusahaan di Indonesia

1.4 Manfaat Penelitian
Paper ini diharapkan akan memberikan manfaat:
1. Sebagai bahan kajian pengembangan ilmu mengenai implementasi prinsip-prinsip Good Corporate Governance diperusahaan di indonesia
2. Bagi stakeholder betapa pentingnya Corporate Governance sebagai dalam melahirkan laporan keuangan yang bersih.

1.5 Batasan Permasalahan
Untuk menghindari pembahasan yang lebih luas, maka penulis memberikan batasan pada penegakkan prinsip Good Coorporation Governance Perusahaan di Indonesia (dalam perspektif pendekatan agency theory)”

1.6 Metode Analisis
Metode analisis yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode literatur. Metode literatur merupakan metode yang dilakukan dengan melakukan tinjauan tehadap literatur-literatur yang terkait dengan masalah yang akan dibahas. Oleh karena itu pembahasan dalam paper ini juga dilakukan dengan menelaah masalah dengan membaca beberapa literatur, baik itu berupa buku cetakan maupun tulisan-tulisan yang ada di jejaring.

BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN


PENGERTIAN GOOD COORPORATE GOVERNANCE
Istilah Corporate Governance (CG) pertama kali diperkenalkan oleh Cadbury Committee tahun 1992 dalam laporannya yang dikenal sebagai Cadbury Report (Tjager dkk., 2003). Terdapat banyak definisi tentang CG yang pendefinisiannya dipengaruhi oleh teori yang melandasinya. Perusahaan/korporasi dapat dipandang dari dua teori, yaitu (a) teori pemegang saham (shareholding theory), dan (b) teori stakeholder (stakeholding theory).
Shareholding theory mangatakan bahwa perusahaan didirikan dan dijalankan untuk tujuan memaksimumkan kesejahteraan pemilik/pemegang saham sebagai akibat dari investasi yang dilakukannya. Shareholding theory ini sering disebut sebagai teori korporasi klasik yang sudah diperkenalkan oleh Adam Smith pada tahun 1776. Definisi CG yang berdasar pada shareholding theory diberikan oleh Monks dan Minow (1995) yaitu hubungan berbagai partisipan (pemilik/investor dan manajemen) dalam menentukan arah dan kinerja korporasi. Definisi lain diajukan oleh Shleifer dan Vishny (1997) yang menyebutkan bahwa CG sebagai cara atau mekanisme untuk meyakinkan para pemilik modal dalam memperoleh hasil(return) yang sesuai dengan investasi yang ditanamkan.
Stakeholding theory, diperkenalkan oleh Freeman (1984), menyatakan bahwa perusahaan adalah organ yang berhubungan dengan pihak lain yang berkepentingan, baik yang ada di dalam maupun di luar perusahaan. Definisi stakeholder ini termasuk karyawan, pelanggan, kreditur, suplier, dan masyarakat sekitar dimana perusahaan tersebut beroperasi. Adapun definisi Good Corporate Governance dari Cadbury Committee yang berdasar pada teori stakeholder adalah sebagai berikut :
“A set of rules that define the relationship between shareholders, managers, creditors, the government, employees and internal and external stakeholders in respect to their rights and responsibilities”.
(Seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara para pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka).
Beberapa institusi Indonesia mengajukan definisi CG, antara lain oleh FCGI (Forum for Corporate Governance in Indonesia) tahun 2000 yang mendefinisikan CG sama seperti Cadbury Committee, sedangkan The Indonesian Institute for Corporate Governance atau IICG (2000) mendefinisikan CG sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder yang lain.
Secara umum istilah good corporate governance merupakan sistem pengendalian dan pengaturan perusahaan yang dapat dilihat dari mekanisme hubungan antara berbagai pihak yang mengurus perusahaan (hard definition), maupun ditinjau dari "nilai-nilai" yang terkandung dari mekanisme pengelolaan itu sendiri (soft definition). Tim GCG BPKP mendefinisikan GCG dari segi soft definition yang mudah dicerna, sekalipun orang awam, yaitu:
"KOMITMEN, ATURAN MAIN, SERTA PRAKTIK PENYELENGGARAAN BISNIS SECARA SEHAT DAN BERETIKA"
Pengertian lain CG menurut Surat Keputusan Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan BUMN No. 23/M PM/BUMN/2000 tentang Pengembangan Praktik GCG dalam Perusahaan Perseroan (PERSERO), Good Corporate Governance adalah prinsip korporasi yang sehat yang perlu diterapkan dalam pengelolaan perusahaan yang dilaksanakan semata-mata demi menjaga kepentingan perusahaan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan perusahaan.
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) misalnya menyebutkan, tujuan implementasi GCG adalah dalam rangka mencapai pertumbuhan perusahaan yang berkelanjutan (sustainable growth) sekaligus mengoptimalkan nilai perusahaan bagi para pemegang sahamnya
Jadi Good Corporate Governance dapat diartikan sebagai suatu proses dan struktur yang digunakan untuk meningkatkan keberhasilan usaha, dan akuntabilitas perusahaan yang bertujuan untuk meningkatkan nilai perusahaan dalam jangka panjang dengan memperhatikan kepentingan stakeholders serta berlandaskan peraturan perundang-undangan, moral dan nilai etika.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut, nampak dengan jelas bahwa CG merupakan upaya yang dilakukan oleh semua pihak yang berkepentingan dengan perusahaan untuk menjalankan usahanya secara baik sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing.


PENGERTIAN TEORI KEAGENAN
Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa isu GCG diawali dengan munculnya pemisahan antara pemilik dan manajemen. Pemilik atau pemegang saham sebagai prinsipal, sedangkan manajemen sebagai agen. Agency Theory mendasarkan hubungan kontrak antar anggota-anggota dalam perusahaan, dimana prinsipal dan agen sebagai pelaku utama. Prinsipal merupakan pihak yang memberikan mandat kepada agen untuk bertindak atas nama prinsipal, sedangkan agen merupakan pihak yang diberi amanat oleh prinsipal untuk menjalankan perusahaan. Agen berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah diamanahkan oleh prinsipal kepadanya.
Aplikasi agency theory dapat terwujud dalam kontrak kerja yang akan mengatur proporsi hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan tetap memperhitungkan kemanfaatan secara keseluruhan. Kontrak kerja merupakan seperangkat aturan yang mengatur mengenai mekanisme bagi hasil, baik yang berupa keuntungan, return maupun risiko-risiko yang disetujui oleh prinsipal dan agen. Kontrak kerja akan menjadi optimal bila kontrak dapat fairness yaitu mampu menyeimbangkan antara prinsipal dan agen yang secara matematis memperlihatkan pelaksanaan kewajiban yang optimal oleh agen dan pemberian insentif/imbalan khusus yang memuaskan dari prinsipal ke agen. Inti dari Agency Theory atau teori keagenan adalah pendesainan kontrak yang tepat untuk menyelaraskan kepentingan prinsipal dan agen dalam hal terjadi konflik kepentingan (Scott, 1997).
Dalam bukunya Teori akuntansi Suwardjono dalam teori keagenan ,agen biasanya diangap sebagai pihak yang inign memaksimumkan dirinya tetapi ia selalu tetap berusaha memenuhi kontrak.dalam kontrak ini di jelaskan hubungan antara prinsipal dan agen yang didalamnya agen bertindak atas nama dan untuk kepentingan prinsipal dan atas tindakannya tersebut agen mendapatkan imbalan tertentu.
Menurut Eisenhard (1989), teori keagenan dilandasi oleh 3 (tiga) buah asumsi yaitu: (a) asumsi tentang sifat manusia, (b) asumsi tentang keorganisasian, dan (c) asumsi tentang informasi.
Asumsi tentang sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat untuk mementingkan diri sendiri (self interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion). Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria produktivitas, dan adanya Asymmetric Information (AI) antara prinsipal dan agen. Sedangkan asumsi tentang informasi adalah bahwa informasi dipandang sebagai barang komoditi yang bisa diperjual belikan.
Baik prinsipal maupun agen, keduanya mempunyai bargaining position. Prinsipal sebagai pemilik modal mempunyai hak akses pada informasi internal perusahaan, sedangkan agen yang menjalankan operasional perusahaan mempunyai informasi tentang operasi dan kinerja perusahaan secara riil dan menyeluruh, namun agen tidak mempunyai wewenang mutlak dalam pengambilan keputusan, apalagi keputusan yang bersifat strategis, jangka panjang, dan global. Hal ini disebabkan untuk keputusan-keputusan tersebut tetap menjadi wewenang dari prinsipal selaku pemilik perusahaan.
Adanya posisi, fungsi, kepentingan, dan latar belakang prinsipal dan agen yang berbeda dan saling bertolak belakang namun saling membutuhkan ini, mau tidak mau dalam praktiknya akan menimbulkan pertentangan dengan saling tarik menarik kepentingan dan pengaruh antara satu sama lain. Apabila agen (yang berperan sebagai penyedia informasi bagi prinsipal dalam pengambilan keputusan) melakukan upaya sistematis yang dapat menghambat prinsipal dalam pengambilan keputusan strategis melalui penyediaan informasi yang tidak transparan, sedang di lain pihak prinsipal selaku pemilik modal bertindak semaunya ataupun sewenang-wenang karena ia merasa sebagai pihak yang paling berkuasa dan penentu keputusan dengan wewenang yang tak terbatas, maka kemudian yang terjadi adalah pertentangan yang semakin tajam yang akan menyebabkan konflik yang berkepanjangan yang pada akhirnya merugikan semua pihak. Baik prinsipal maupun agen diasumsikan sebagai orang ekonomik (homo economicus) yang berperilaku ingin memaksimalkan kepentingannya masing-masing. Dalam konsep Agency Theory, manajemen sebagai agen semestinya on behalf of the best interest of the shareholders, akan tetapi tidak tertutup kemungkinan manajemen hanya mementingan kepentingannya sendiri untuk memaksimalkan utilitas. Manajemen bisa melakukan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan perusahaan secara keseluruhan yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan perusahaan. Bahkan untuk mencapai kepentingannya sendiri, manajemen bisa bertindak menggunakan akuntansi sebagai alat untuk melakukan rekayasa. Perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen inilah disebut dengan Agency Problem yang salah satunya disebabkan oleh adanya Asymmetric Information.
Asymmetric Information (AI), yaitu informasi yang tidak seimbang yang disebabkan karena adanya distribusi informasi yang tidak sama antara prinsipal dan agen. Dalam hal ini prinsipal seharusnya memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mengukur tingkat hasil yang diperoleh dari usaha agen, namun ternyata informasi tentang ukuran keberhasilan yang diperoleh oleh prinsipal tidak seluruhnya disajikan oleh agen. Akibatnya informasi yang diperoleh prinsipal kurang lengkap sehingga tetap tidak dapat menjelaskan kinerja agen yang sesungguhnya dalam mengelola kekayaan prinsipal yang telah dipercayakan kepada agen.
Akibat adanya informasi yang tidak seimbang (asimetri) ini, dapat menimbulkan 2 (dua) permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan prinsipal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agen. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah :
(a). Moral Hazard, yaitu permasalahan yang muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja.
(b) Adverse selection, yaitu suatu keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas.
Adanya agency problem di atas, menimbulkan biaya keagenan (agency cost), yang menurut Jensen dan Meckling (1976) terdiri dari :

(a) The monitoring expenditures by the principle. Biaya monitoring dikeluarkan oleh prinsipal untuk memonitor perilaku agen, termasuk juga usaha untuk mengendalikan (control) perilaku agen melalui budget restriction, dan compensation policies

(b) The bonding expenditures by the agent. The bonding cost dikeluarkan oleh agen untuk menjamin bahwa agen tidak akan menggunakan tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal atau untuk menjamin bahwa prinsipal akan diberi kompensasi jika ia tidak mangambil banyak tindakan.

(c) The residual loss yang merupakan penurunan tingkat kesejahteraan prinsipal maupun agen setelah adanya agency relationship

PRINSIP DASAR GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Tujuan GCG pada intinya adalah menciptakaan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan. Pihak-pihak tersebut adalah pihak internal yang meliputi dewan komisaris, direksi, karyawan, dan pihak eksternal yang meliputi investor, kreditur, pemerintah, masyarakat dan pihak–pihak lain yang berkepentingan (stakeholders). Dalam praktiknya CG berbeda di setiap negara dan perusahaan karena berkaitan dengan sistem ekonomi, hukum, struktur kepemilikan, sosial dan budaya. Perbedaan praktik ini menimbulkan beberapa versi yang menyangkut prinsip-prinsip CG, namun pada dasarnya mempunyai banyak kesamaan.
Menurut Cadbury Report (1992), prinsip utama GCG adalah: keterbukaan, integritas dan akuntabilitas. Sedangkan menurut Organization for Economic Corporation and Development atau OECD, prinsip dasar GCG adalah: kewajaran (fairness), akuntabilitas (accountability), transparansi (transparency), dan responsibilitas (responsibility). Prinsip-prinsip tersebut digunakan untuk mengukur seberapa jauh GCG telah diterapkan dalam perusahaan.
Gambar di bawah ini menjelaskan prinsip-prinsip GCG



Penjelasan ke empat prinsip dasar di atas adalah sebagai berikut:
1. Kewajaran (fairness). Prinsip kewajaran menekankan pada adanya perlakuan dan jaminan hak-hak yang sama kepada pemegang saham minoritas maupun mayoritas, termasuk hak-hak pemegang saham asing serta investor lainnya. Praktik kewajaran juga mencakup adanya sistem hukum dan peraturan serta penegakannya yang jelas dan berlaku bagi semua pihak. Hal ini penting untuk melindungi kepentingan pemegang saham dari praktik kecurangan (fraud) dan praktik-praktik insider trading yang dilakukan oleh agen/manajer. Prinsip kewajaran ini dimaksudkan untuk mengatasi masalah yang timbul dari adanya hubungan kontrak antara pemilik dan manajer karena diantara kedua pihak tersebut memiliki kepentingan yang berbeda (conflict of interest).
2. Akuntabilitas (accountability). Prinsip akuntabilitas berhubungan dengan adanya sistem yang mengendalikan hubungan antara unit-unit pengawasan yang ada di perusahaan. Akuntabilitas dilaksanakan dengan adanya dewan komisaris dan direksi independen, dan komite audit. Akuntabilitas diperlukan sebagai salah satu solusi mengatasi Agency Problem yang timbul antara pemegang saham dan direksi serta pengendaliannya oleh komisaris. Praktik-praktik yang diharapkan muncul dalam menerapkan akuntabilitas diantaranya pemberdayaan dewan komisaris untuk melakukan monitoring, evaluasi, dan pengendalian terhadap manajemen guna memberikan jaminan perlindungan kepada pemegang saham dan pembatasan kekuasaan yang jelas di jajaran direksi.
3. Transparansi (transparency). Prinsip dasar transparansi berhubungan dengan kualitas informasi yang disajikan oleh perusahaan. Kepercayaan investor akan sangat tergantung dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan. Oleh karena itu perusahaan dituntut untuk menyediakan informasi yang jelas, akurat, tepat waktu dan dapat dibandingkan dengan indikator-indikator yang sarna. Prinsip ini diwujudkan antara lain dengan mengembangkan sistem akuntansi yang berbasiskan standar akuntansi dan best practices yang menjamin adanya laporan keuangan dan pengungkapan yang berkualitas, mengembangkan teknologi informasi dan sistem informasi akuntansi manajemen untuk menjamin adanya pengukuran kinerja yang memadai dan proses pengambilan keputusan yang efektif oleh dewan komisaris dan direksi; termasuk juga mengumumkan jabatan yang kosong secara terbuka (Tjager dkk, 2003 : 51). Dengan kata lain prinsip transparansi ini menghendaki adanya keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam penyajian (disclosure) informasi yang dimiliki perusahaan.
4. Responsibilitas (responsibility). Responsibilitas diartikan sebagai tanggungjawab perusahaan sebagai anggota masyarakat untuk mematuhi peraturan dan hukum yang berlaku serta pemenuhan terhadap kebutuhan-kebutuhan sosial. Responsibilitas menekankan pada adanya sistem yang jelas untuk mengatur mekanisme pertanggungjawaban perusahaan kepada pemegang saham dan pihak-pihak lain yang berkepentingan. Hal tersebut untuk merealisasikan tujuan yang hendak dicapai GCG yaitu mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan seperti masyarakat, pemerintah, asosiasi bisnis dan pihak-pihak lainnya.

BAGAIMANA PENERAPAN PRINSIP GCG PADA PERUSAHAAN DI INDONESIA?
Dalam mewujudkan GCG pada perusahaan-perusahaan di Indonesia, terdapat dua aspek keseimbangan, yaitu keseimbangan internal dan eksternal. Keseimbangan internal dilakukan dengan cara menyajikan informasi yang berguna dalam evaluasi kinerja, informasi tentang sumber daya yang dimiliki perusahaan, semua transaksi dan kejadian internal, dan informasi untuk keputusan manajemen internal. Sedangkan keseimbangan eksternal dilakukan dengan cara menyajikan informasi bisnis kepada para pemegang saham, kreditur, bank, dan organisasi lainnya yang berkepentingan.
Untuk mewujudkan dua aspek keseimbangan tersebut, terdapat empat prinsip dasar praktik GCG yang telah dibahas di depan. Keempat prinsip dasar ini harus menjadi acuan dalam penyelenggaraan perusahaan. Salah satu cara untuk mewujudkannya adalah dengan menyediakan informasi secara terbuka dan lengkap tentang aktivitas yang dilakukan perusahaan dalam laporan keuangan tahunannya.
Standar Akuntansi Keuangan (SAK) 1994 telah menyatakan bahwa informasi yang disajikan di dalam laporan keuangan harus mengikuti prinsip full disclosure. Demikian pula pihak BAPEPAM sebagai regulatory body pasar modal di Indonesia sudah menentukan bahwa semua perusahaan yang telah go-public di Indonesia harus menjalankan prinsip full disclosure dalam laporan keuangannya dan ini merupakan bagian dari upaya penegakan GCG.
Pertanyaan yang timbul adalah apakah segala informasi tentang kejadian di perusahaan itu harus diungkapkan (di-disclose) dalam laporan keuangan?.
Untuk menjawabnya, dapat mengacu kepada Hendriksen dan Breda (1992) yang berpendapat bahwa disclosure dalam laporan keuangan mengandung arti untuk menyajikan informasi yang berguna membantu beroperasinya pasar modal secara efisien. Dalam kaitannya dengan prinsip pengungkapan, Belkaoui (1981) dan Hendriksen dan Breda (1992) menyatakan bahwa disclosure mempunyai tiga prinsip yaitu 'adequate, fair, dan full'.
Pengungkapan yang cukup (adequate) adalah yang paling umum digunakan, tetapi ini mengandung suatu pengertian adanya keterbatasan dalam penyajian informasi karena menurut prinsip adequate disclosure ini, informasi bisa disajikan seminimum mungkin asal cukup sehingga laporan keuangan masih tidak menyesatkan. Kemudian, pengungkapan yang fair (wajar) mengandung suatu tujuan etis yaitu memberikan informasi yang lengkap untuk kepentingan umum dan bukan untuk pihak tertentu
Sedangkan prinsip yang full (lengkap) adalah menyajikan semua informasi yang berguna dan relevan kepada pemakai laporan keuangan. Dalam pemakaian prinsip disclosure ini, ternyata BAPEPAM lebih senang untuk menggunakan prinsip full disclosure. Peran akuntan manajemen dalam penyajian informasi perusahaan kepada pemakainya menjadi sangat penting karena ketidaktranparanan akan mengakibatkan berkurangnya manfaat informasi.
Beberapa peneliti telah melakukan studi untuk menguji disclosure quality atas informasi dalam laporan keuangan yang dipublikasikan oleh perusahaan emiten. Beaver (1989) memberikan bukti tentang kegunaan informasi yang di-disclose (diungkapkan) dalam laporan keuangan yang mengandung unsur predictive value. Ia melakukan studi mengenai manfaat rasio-rasio keuangan untuk memprediksi failure (kegagalan usaha menuju kebangkrutan). Hasilnya menyatakan bahwa dengan menggunakan analisis rasio keuangan, kegagalan usaha dapat diprediksi sebelumnya.
Di Australia, Arifin (1992) melakukan studi untuk menganalisis praktik full disclosure dalam laporan keuangan perusahaan yang telah go-public. Data dikumpulkan dengan mengirimkan kuesioner kepada para pemakai laporan keuangan, yaitu sejumlah investor institutional (institutional investors) di Australia. Hasil penelitiannya menemukan bahwa prinsip full disclosure cenderung menghasilkan informasi yang relevan dan reliabel, tetapi tidak menghasilkan informasi yang komparabel. Hal ini disebabkan terdapat berbagai ragam tanggal tutup buku perusahaan di Australia sehingga untuk melakukan perbandingan (komparabilitas) antar laporan keuangan mengalami kesulitan. Dengan menggunakan metodologi yang sama, di Indonesia, Arifin (1998) melakukan penelitian tentang prinsip full disclosure dalam laporan keuangan perusahaan publik dengan kualitas informasi akuntansi (relevan, reliabel, dan komparabel). Hasilnya menunjukkan bahwa penerapan prinsip full disclosure dapat mendukung reliabilitas informasi akuntansi dalam laporan keuangan, namun tidak mendukung relevansi dan komparabilitas informasi akuntansi.
Untuk menjamin terlaksananya mekanisme governance, sebenarnya dalam undang-Undang Perseroan Terbatas No. I tahun 1995 telah diatur beberapa hal yang harus dilakukan oleh perusahaan. Khusus mengenai prinsip transparansi keuangan, dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa direksi perusahaan diharuskan menerbitkan laporan keuangan yang meliputi laporan keuangan interim (tengah tahunan) dan laporan keuangan tahunan (annual report) yang harus diaudit oleh akuntan publik dan dipublikasikan dalam surat kabar nasional.
Lebih lanjut, pihak BAPEPAM melalui aturannya nomor 38 tahun 1996 lebih memperjelas aturan tersebut dengan mengeluarkan aturan tentang hal-hal apa saja yang harus dirinci oleh perusahaan publik dalam menerbitkan laporan tahunan mereka (Herwidayatmo, 2000). Laporan tahunan harus mencakup ikhtisar data keuangan penting perusahaan untuk periode lima tahun, analisis dan pembahasan oleh manajemen, penjelasan mengenai investasi atau divestasi, transaksi yang mengandung benturan kepentingan, dan transaksi dengan pihak afiliasi serta laporan keuangan tahunan yang telah diaudit.
Upaya untuk menegakkan prinsip Good Corporate Governance pada perusahaan yang telah go-public oleh BAPEPAM terus berlangsung. Tujuannya adalah (a) menjaga kelangsungan usaha perusahaan dengan pengelolaan yang lebih baik, struktur organisasi yang jelas, dan sistem informasi manajemen yang akurat, (b) mengurangi adanya Asymmetry Information antara menajemen dan pemilik perusahaan, dan (c) menjaga kepercayaan publik dengan pengungkapan informasi yang berkualitas dalam laporan tahunannya.
Meskipun upaya penerapan GCG terus berlangsung, namun praktik GCG di perusahaan di Indonesia masih ada kelemahan-kelemahan. Menurut Herwidayatmo (2000), praktik-praktik di Indonesia yang bertentangan dengan konsep GCG dapat dikelompokkan menjadi (a) adnya konsentrasi kepemilikan oleh pihak tertentu yang memungkinkan terjadinya hubungan afiliasi antara pemilik, pengawas, dan direktur perusahaan, (b) tidak efektifnya dewan komisaris, dan (c) lemahnya law enforcement.
Karakteristik lemahnya CG yang melekat di perusahaan-perusahaan Indonesia dan terjadinya berbagai skandal menyebabkan rendahnya penilaian penerapan CG di Indonesia. Menurut Erry Riyana (2000, dalam Suprayitno dkk., 2004), hasil penelitian Booz Allen yang mengevaluasi kualitas CG di negara-negara ASEAN, menempatkan Indonesia di peringkat yang paling bawah. Ini memang cukup memprihatinkan sehingga perlu adanya peran aktif dari berbagai pihak yang terlibat di dalam perbaikan kinerja perusahaan. Memang sudah banyak aturan dan kebijakan-kebijakan yang ada untuk berupaya menegakkan prinsip GCG, namun dalam praktiknya masih belum optimal sehingga masih perlu diatur lagi atau direvisi aturan yang sudah ada, termasuk beberapa pasal dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas tahun 1995 seperti yang telah di bahas sebelumnya



Peranan Good Corprate Governance Dalam Pengembangan Perusahaan Publik

Sejak Indonesia terperosok dalam krisis ekonomi beberapa tahun silam, maka good corporate governance menjadi bagian untuk pembenahan dan pengembangan pengelolaan perusahaan. Setiap emiten, direksi dan komisaris harus dengan tulus dan ikhlas bersedia setiap gerak dari usaha mereka, telah mencerminkan prinsipprinsip good corporate governance tersebut. Adapun untuk dapat menilai dunia usaha di Indonesia saat ini adalah ; 1. Ketertutupan diri pengusaha, baik pemilik maupun manager; 2. Tidak mempergunakan kaedah-kaedah usaha dengan baik dalam mengerjakan usaha melainkan lebih menyenangi lobi; 3. Kurangnya kesiapan menjadi enterpreneur yang mampu membawanya ke dunia usaha murni. Hal ini membawa enterpreneur jauh dari good corporate governance, sehingga tingkat kepercayaan dan kekuatan yang diterima dari relasi usaha rendah, oleh sebab itu mudah terombangambing gelombang perekonomian global, saat situasi usaha bekerja dalam kondisi perekonomian baik memang pengaruh ini tidak tampak namun apabila kondisi perekonomian kurang baik maka kehancuran perusahaan tidak dapat terelakkan lagi. Secara formal good corporate governance hanya ditujukan untuk perusahaan yang mempunyai status perusahaan publik, khususnya emiten yang telah menyerap dana dari masyarakat dan telah memiliki saham publik yang sifatnya minoritas dan independent dan secara sederhana dapat dilukiskan sebagai bentuk dari pelaksaan tanggung jawab antara perusahaan sebagai badan hukum, direksi dan komisaris sebagai pengurus dengan para pemegang saham. Caranya dengan menjalankan ketentuan Anggaran Dasar (AD)dalam rangkaian kewajiban untuk transparansi,bertanggung jawab, adil dan akuntabel.
Board of Directors harus mampu dan mau secara tulus dan ikhlas menerapkan good corporate governance maka secara otomatis akan mempunyai kekuatan dan daya tahan terpaan serta ancaman dari faktor-faktor internal dan eksternal perusahaan.Good corporate governance telah memiliki nilai-nilai positif untuk menjaga konsistensi serta profesionalisme perusahaan dalam melakukan berbagai macam tindakan guna menuju kearah kinerja yang hebat. Apabila perusahaan tidak mau bekerja dengan menerapkan good corporate governance maka berbagai potensi negatif akan bersarang dan berkembang untuk merusak moral dan etika kerja dari sumber daya manusianya secara total.
Sebagian besar perusahaan yang mengalami oleng atau tidak stabil, disebabkan oleh sikap dan cara pengelolaan yang tidak menerapkan nilai-nilai good corporate governance secara tepat pada waktu-waktu yang krusial. Untuk menjaga agar perusahaan oleng, maka semua kekuatan sumber daya perusahaan secara keseluruhan dan utuh harus mampu menjaga efektivitas, efisiensi dan produktivitas dari asset–liability–equity perusahaan, termasuk cash flow dan profit perusahaan dalam keseimbangan yang tepat dengan cara-cara pengelolaan yang patuh pada penerapan prinsip-prinsip good corporate governance.Ketika perusahaan mengalami kegagalan dalam bekerja dengan menerapkan good corporate governance, maka sistem pengendalian perusahaan sulit mengukur semua resiko secara baik, sistem keuangan perusahaan akan menjadi tidak konsisten,para pelanggan beserta stakeholders lainnya akan merasa bosan dengan etika dan moral pelayanan yang kurang baik dan tidak menyenangkan, serta ada beberapa hal lain yang dapat menyebabkan perusahaan berada dalam genggaman potensi negatif, dan semua itu akan menggerogoti daya saing, cash flow, sumber daya manusia, produksi serta jasa perusahaan, sehingga perusahaan akan sulit untuk bernafas dengan baik yang artinya perusahaan sudah tidak dapat berjalan dengan baik atau diambang kehancuran.
Peranan penerapan good corporate governance sangat penting untuk meningkatkan daya saing perusahaan dalam kompetisi pasar global yang sudah ketat sekali. Dengan melalui penerapan good corporate governance perusahaan akan mempunyai kemampuan dan kekuatan dalam menciptakan pertumbuhan maupun perkembangan bisnis sesuai target yang telah direncanakan.Penerapan good corporate governance yang berintikan pada budaya korporasi adalah merupakan sikap profesionalisme yang beretika dan bermoral tinggi, sehingga semua kekuatan manusia korporasi tidak lagi melakukan politik praktis di dalam perusahaan, melainkan bersatu padu untuk meningkatkan kualitas perusahaan menjadi kuat, kokoh dan lebih sehat serta dapat mengembangkan perusahaan.Peranan good corporate governance selain dapat membuat perusahaan menjadi kuat dan kokoh dari terpaan segala macam badai krisis multidemensi, yang secara pasti tidak akan menggerogoti semua potensi hebat dari perusahaan,good corporate governance juga selalu menjaga dan dapat mengendalikan semua kewajibankewajibannyakepada para pemegang saham maupun stakeholders lainya seperti gaji karyawan,biayabiaya opersional rutin, biaya bunga pinjaman, baik biaya- biaya tetap maupun biayabiaya tidak tetap lainnya, dengan melalui sistem dan kultur atau budaya korporasi yang terkait dengan etika dan moral serta nilai-nilai penerapan prinsip-prinsip good corporate governance dengan tepat, bersih dan sehat.
Adapun yang menjadi rahasia keberhasilan dari implementasi good corporate governance adalah terletak pada kepemimpinan yang kuat, tangguh dan mempunyai daya tahan untuk bekerja dalam organisasai perusahaan yang serba berwarna-warni, sebab akar good corporate culture juga terletak pada sikap dan perilaku pimpinan perusahaan.
Kepemimpinan yang sanggup memberikan motivasi dan meyakinkan pada setiap sumber daya manusia perusahaan, untuk tetap mempunyai semangat tinggi dalam kerja sama serta saling menghargai dan menjaga rasa hormat diantara mereka dengan kesabaran tinggi dan kerja keras tiada henti. Kepemimpinan yang dapat memberikan contoh-contoh positif dalam proses implementasi good corporate governance adalah merupakan pemimpin yang secara sepenuh hati mengabdikan pada keselamatan serta kelangsungan hidup perusahaan, dan mereka adalah sebagai pemimpin yang tidak egois dengan kepentingan pribadinya sendiri tetapi selalu bekerja demi kepentingan visi serta misi perusahaan

PERAN AKUNTAN DALAM MENEGAKKAN PRINSIP GOOD COORPORATION GOVERNANCE
Accounting is a language of business. Akuntansi adalah bahasa bisnis. Sebagai suatu bahasa, akuntansi harus mengandung suatu informasi (yang dalam hal ini adalah informasi bisnis) yang mampu memberikan sesuatu yang bermanfaat dari penyampai (manajemen) kepada penerima (stakeholders). Informasi ini disampaikan melalui komunikasi verbal dalam bentuk laporan. Pengungkapan informasi keuangan dalam laporan keuangan merupakan cara dari pihak perusahaan (sebagai sender) untuk memberikan informasi atas hasil operasinya selama satu periode tertentu kepada pihak-pihak yang berkepentingan (sebagai receiver) untuk pengambilan keputusan ekonomi.
Sebagai suatu bahasa bisnis, informasi yang diungkapkan dalam laporan keuangan harus dapat berguna dan tidak membingungkan para pemakainya. Dalam konteks Agency Theory, laporan keuangan disajikan oleh manajer/agen sebagai salah satu wujud pertanggungjawaban pengelolaan kekayaan pemilik/prinsipal yang diamanahkan kepadanya. Dengan demikian, penyaji laporan keuangan adalah agen dan pemakai laporan keuangan adalah prinsipal.
Akuntan adalah salah satu profesi yang terlibat langsung dalam pengelolaan perusahaan. Keterlibatan akuntan mencakup dua pihak, yaitu internal dan eksternal. Keterlibatan internal terjadi bila akuntan menjadi salah satu bagian dari manajemen untuk melaksanakan fungsi sebagai penyedia informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan perusahaan. Selaku akuntan manajemen, akuntan adalah bagian dari manajemen perusahaan sehingga dia terlibat langsung dalam aktivitas-aktivitas perusahaan. Menurut perspektif teori keagenan, dalam hal ini akuntan adalah bagian dari agen sehingga perilaku akuntan boleh dikatakan sama dengan perilaku agen.
Keterlibatan eksternal akuntan adalah bila akuntan menjalankan profesinya sebagai auditor yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan atas kewajaran laporan keuangan. Profesi auditor dari para akuntan memainkan peran yang penting (crucial) karena mereka memverifikasi kewajaran informasi yang mendasari dilakukannya berbagai macam transaksi bisnis pemakai laporan keuangan. Tanpa kepercayaan terhadap kebenaran kondisi keuangan suatu perusahaan, para investor akan ragu untuk membeli saham suatu perusahaan terbuka dan pasar akan sulit tercipta (Tjager dkk, 2003).
Dalam hubungannya dengan prinsip GCG, peran akuntan secara signifikan terlibat dalam berbagai aktivitas penerapan masing-masing prinsip GCG sebagai berikut :
1. Prinsip Kewajaran (fairness). Laporan keuangan dikatakan wajar bila laporan keuangan tersebut memperoleh opini atau pendapat wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) dari akuntan publik. Laporan keuangan yang wajar berarti laporan keuangan tersebut tidak mengandung salah saji material, disajikan secara wajar sesuai dengan prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia (dalam hal ini adalah Standar Akuntansi Keuangan). Peran akuntan independen (akuntan publik) adalah memberikan keyakinan atas kualitas informasi keuangan dengan memberikan pendapat yang independen atas kewajaran penyajian informasi dalam laporan keuangan. Adanya kewajaran laporan keuangan dapat mempengaruhi investor untuk membeli atau menarik sahamya pada sebuah perusahaan. Jelaslah bahwa kegunaan informasi akuntansi dalam laporan keuangan akan dipengaruhi oleh adanya kewajaran penyajian. Kewajaran penyajian dapat dipenuhi jika data yang ada didukung oleh adanya bukti-bukti yang syah dan benar serta penyajiannya tidak ditujukan hanya untuk sekelompok orang-orang tertentu.
Bagi akuntan manajemen, meskipun dia bekerja untuk pihak manajemen, mereka tetap harus memegang profesionalisme mereka karena akuntan sebagai profesi dalam melaksanakan tugasnya dibatasi oleh kode etik dan mereka harus tetap menjaga public trust dari masyarakat. Memang sering terjadi konflik dalam diri akuntan yang bekerja pada perusahaan karena di satu pihak mereka harus tetap memegang kode etik profesi namun di lain pihak kadangkala mereka harus menuruti keinginan manajemen perusahaan tempat mereka bekerja untuk melakukan suatu pekerjaan yang tidak sesuai dengan kode etik. Bila terjadi hal yang demikian, keputusan uantuk berdiri pada pihak yang mana ada pada diri akuntan. Bila akuntan tersebut memiliki integritas dalam melaksanakan tugasnya, tentu dia tetap memegang etika profesi untuk mengungkapakan informasi akuntansi dalam laporan keuangan perusahaan secara fair sesuai dengan prinsip dan standar yang berlaku. Dengan ditegakkannya prinsip fairness ini, paling tidak akuntan berperan membantu pihak stakeholders dalam menilai perkembangan suatu perusahaan dan membantu mereka untuk membandingkan kondisi perusahaan dengan perusahaan yang lainnya.
Untuk itu, laporan keuangan yg disajikan harus memiliki daya banding (comparability). Daya banding dapat diperoleh jika informasi akuntansi disajikan secara konsisten, baik konsisten dalam pemakaian metode akuntansi maupun konsisten dalam pengukurannya. Jika penggunaan metode dan prinsip penyajian setiap tahunnya berbeda, akan sulit kiranya para pemakai untuk melakukan perbandingan atau melakukan penilaian terhadap perkembangan usaha perusahaan.
2. Prinsip Akuntabilitas (accountability) adalah merupakan tanggung jawab manajemen melalui pengawasan yang efektif yaitu dengan dibentuknya komite audit. BAPEPAM mensyaratkan bahwa anggota komite audit minimum sebanyak 3 orang dan salah satu anggotanya harus akuntan. Komite audit mempunyai tugas utama untuk melindungi kepentingan pemegang saham ataupun pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan melakukan tinjauan atas reliabilitas dan integritas informasi dalam laporan keuangan dan laporan operasional lain beserta kriteria untuk mengukur, melakukan klasifikasi dan penyajian dari laporan tersebut. Untuk alasan itulah profesi akuntan sangat diperlukan dan mempunyai peranan yang penting untuk menegakkan prinsip akuntabilitas.
Akuntabilitas diperlukan sebagai salah satu solusi mengatasi agency problem yang timbul antara pemegang saham (prinsipal) dan manajemen (agen). Dengan adanya independensi dari komite audit tersebut akan mempengaruhi investor dalam melakukan pilihannya untuk membeli atau melepas suatu saham yang bisa dilihat dari adanya abnormal return (Steven J. Carlson, et at, 1998).
3. Prinsip Transparansi (transparency). Prinsip transparansi berhubungan dengan kualitas informasi yang disampaikan perusahaan. Kepercayaan investor akan sangat tergantung dengan kualitas penyajian informasi yang disampaikan perusahaan. Oleh karena itu akuntan manajemen (yang bekerja pada perusahaan) dituntut untuk menyediakan informasi yang jelas, akurat, tepat waktu dan dapat dibandingkan dengan indikator-indikator yang sarna. Untuk itu informasi yang ada dalam perusahaan harus diukur, dicatat, dan dilaporkan oleh akuntan sesuai dengan prinsip dan standar akuntansi yang berlaku.
Prinsip transparansi ini menghendaki adanya keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam penyajian yang lengkap (disclosure) atas semua informasi yang dimiliki perusahaan. Peran akuntan manajemen, internal auditor, dan komite audit menjadi penting terutama dalam hal penyajian informasi akuntansi dalam laporan keuangan perusahaan secara transparan kepada pemakainya. Ini sesuai dengan salah satu aturan BAPEPAM yang menyatakan bahwa laporan keuangan perusahaan publik harus mengandung unsur keterbukaan (tranparansi) dengan mengungkapan kejadian ekonomis yang bermanfaat kepada pemakainya. Praktik yang dikembangkan dalam rangka transparansi diantaranya perusahaan diwajibkan untuk mengungkapkan transaksi-transaksi penting yang berkait dengan perusahaan, risiko yang dihadapi dan rencana/kebijakan perusahaan (corporate action) yang akan dijalankan. Selain itu, perusahaan juga perlu untuk menyampaikan kepada semua pihak tentang struktur kepemilikan perusahaan serta perubahan-perubahan yang terjadi.
4. Prinsip Responsibilitas (responsibility). Prinsip ini berhubungan dengan tanggungjawab perusahaan sebagai anggota masyarakat yaitu dengan cara mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perusahaan seperti masyarakat, pemerintah, asosiasi bisnis dan sebagainya. Prinsip ini berkaitan juga dengan kewajiban perusahaan untuk mematuhi semua peraturan dan hukum yang berlaku.
Seiring dengan perubahan sosial masyarakat yang menuntut adanya tanggungjawab sosial perusahaan, profesi akuntan juga mengalami perubahan peran. Pandangan pemegang saham dan stakeholder lainnya saat ini tidak hanya memfokuskan pada perolehan laba perusahaan tetapi juga memperhatikan tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan. Selain itu kelangsungan hidup perusahaan tidak hanya ditentukan oleh pemegang saham tetapi juga oleh stakeholder yang lain (misalnya masyarakat dan penmerintah). Kasus PT. Inti Indorayon di Sumatera Utara yang ditutup karena dianggap bermasalah dengan masyarakat dan lingkungan sekitarnya adalah contoh suatu perusahaan yang melalaikan tanggungjawab sosialnya dengan tidak mencantumkan aktivitas pengelolaan lingkungan sosial dalam laporan tahunannya.
Pelaporan informasi non-keuangan ini secara umum telah terakomodasi dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuiangan (PSAK) nomor 1 tentang Penyajian Laporan Keuangan. Dalam PSAK nomor 1 ini dinyatakan bahwa perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan, khususnya bagi industri dimana faktor lingkungan hidup memegang peranan penting. Untuk itulah sudah saatnya akuntan manajemen mengungkapkan informasi tentang aktivitas perusahaan yang menyangkut aspek SEE (Social, Ethical, dan Environment). Peran akuntan untuk menegakkan prinsip ini semakin berkembang dengan adanya Indonesia Sustainability Reporting Award (ISRA) yang diselenggarakan oleh Ikatan Akuntan Indonesia, Bapepam, BEJ, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, dan Forum for Corporate Governance in Indonesia pada bulan Juni 2005. Tujuan ISRA ini adalah memberikan award kepada perusahaan yang telah menerapkan dan membuat Sustainability Reporting (SR) dengan baik guna mendorong perusahaan untuk lebih peduli terhadap lingkungan dan masyarakat.
SR adalah pengungkapan (disclosure) tentang kegiatan perusahaan yang menyangkut aspek keuangan, aspek sosial, dan aspek lingkungan yang merupakan tanggungjawab sosial perusahaan (Satyo, 2005). Dalam proses penyiapan ISRA ini, peran akuntan menajemen sangat besar. Akuntan yang menjadi top management, dapat membuat kebijakan-kebijakan yang mendorong penyajian Sustainability Reporting, sedangkan akuntan yang berada pada middle management dapat berperan dalam penilaian dan pengukuran aktivitas SEE perusahaan serta dampak yang dipengaruhinya.

Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa profesi akuntan merupakan elemen utama dari GCG, sehingga penegakan GCG tidak bisa berjalan tanpa keterlibatan profesi akuntan. Peran utama ini sayangnya banyak diragukan oleh berbagai pihak dengan adanya kegagalan audit (audit failures) yang mengakibatkan terjadinya banyak skandal keuangan akhir-akhir ini. Memang tidak mudah untuk menjaga independensi akuntan pemeriksa (auditor) dalam melaksanakan tugasnya. Adanya kasus-kasus finansial yang melibatkan profesi akuntan merupakan bukti bahwa sikap independensi yang harus dimiliki oleh akuntan sulit untuk dipertahankan.
Hal ini disebabkan para auditor atau akuntan ini memiliki tanggung jawab yang ambigius. Di satu sisi mereka harus bersikap dan bekerja untuk perusahaan yang membayar mereka, di sisi lain mereka harus memperhatikan kepentingan para investor yang bergantung sepenuhnya kepada kebenaran laporan audit mereka.
Namun perlu diketahui bahwa, dari perspektif teori keagenan, skandal keuangan yang terjadi tidak hanya menggambarkan ‘kegagalan’ dari auditor eksternal dalam menjalankan fungsinya sebagai pihak yang bekerja untuk kepentingan prinsipal (pemegang saham), tetapi juga mengindikasikan tidak berfungsinya akuntan manajemen atau auditor internal yang bekerja untuk kepentingan agen (Soegiharto, 2005). Hal ini dikarenakan salah satu fungsi utama auditor internal adalah menjamin berjalannya prosedur sebagaimana yang seharusnya (compliance) dan mencegah terjadinya transaksi keuangan dan kecurangan lain yang menyimpang. Ternyata auditor internal tidak mampu mendeteksi adanya kecurangan dan manipulasi keuangan secara dini.
Beberapa cara atau mekanisme yang dapat digunakan oleh para pemegang saham ataupun pihak yang berkepentingan untuk memotivasi manejer agar bertindak sesuai dengan kepentingan para pemegang saham dan pihak yang berkepentingan adalah:
1. Kompensansi manejer
2. Intervensi langsung oleh pemegang saham
3. Ancaman pemecatan dan
4. ancaman
Harapan ke depan untuk akuntan publik sebagai auditor eksternal adalah tetap menjaga sikap independensi secara konsisten dan meningkatkan profesionalisme. Sikap independensi ini perlu dijaga untuk menghindari keterlibatan akuntan dari kasus keuangan. Adanya SK Menteri Keuangan Nomor 423/KMK.06/2002 tentang Jasa Akuntan Publik pasal 6 ayat 4 yang mengatur bahwa satu Kantor Akuntan Publik maksimum 5 tahun berturut-turut boleh memeriksa klien yang sama, menunjukkan tendensi agar akuntan diharapkan masih bisa menjaga independensinya sebab semakin lama akuntan dan klien berhubungan, secara emosional mereka akan semakin akrab. Hubungan yang semula antara auditor dan auditee, bisa menjadi hubungan konsultansi yang tidak menutup kemungkinan akhirnya bisa menjadi hubungan atasan dan bawahan.

BAB III
KESIMPULAN dan SARAN
Kesimpulan
Berdasarkan bahasan-bahasan di atas, dapat dikatakan bahwa persoalan yang muncul dalam perusahaan sehingga tidak dapat berkembang dengan baik adalah adanya tata kelola (governance) yang buruk. Kegagalan operasi perusahaan-perusahaan di Indonesia sejak terjadinya krisis ekonomi diindikasikan oleh para pakar dan peneliti karena adanya praktik corporate governance yang jelek.
Buruknya tata kelola perusahaan adalah akibat adanya perilaku yang tidak diharapkan dari pihak-pihak yang terlibat dalam pengelolaan perusahaan. Untuk menghilangkan akibat tersebut, harus diketahui tentang sebab. Untuk itulah mengetahui sebab yang mengakibatkan terjadinya agency conflict perlu dilakukan, sebelum aturan demi aturan dibuat oleh pihak regulator.
Untuk menegakkan empat prinsip GCG, terlebih dahulu harus dianalisis kemudian dihilangkan persoalan yang timbul dari adanya pemisahan pemilik dan manajemen seperti yang telah diuraikan dalam bahasan agency theory. Diharapkan dengan adanya empat prinsip GCG, yang pada intinya diharapkan mampu untuk menyelaraskan perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen (sebagai pemilik dan manajemen perusahaan), dapat tercipta tata kelola perusahaan yang baik (GCG) perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa penyajian informasi yang lengkap dan berkualitas dalam laporan keuangan (sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas) akan mampu mengurangi asymmetric information dan membuat berbagai pihak merasa senang dan ini sebagai awal terciptanya GCG. Penerapan prinsip-prinsip GCG yang didukung dengan regulasi yang memadai, akan mencegah berbagai bentuk overstated dan ketidakjujuran manajemen dalam financial disclosure yang merugikan para stakeholders. Regulasi untuk profesi-profesi yang menunjang terbentuknya CG juga perlu dibuat agar jasa yang diberikan oleh masing-masing profesi masih berkualitas. Memang sudah banyak aturan dan kebijakan-kebijakan yang ada untuk berupaya menegakkan prinsip GCG. Bila dilihat dari aturan yang telah ada, baik itu yang dikeluarkan oleh Menteri Keuangan, Bapepam atau PT. BEJ menunjukkan bahwa Akuntan, baik sebagai individu maupun sebagai satu kesatuan profesi, merupakan bagian terpenting dari penegakkan prinsip Good Corporate Governance
Selain pemenuhan prinsip-prinsip GCG, dibutuhkan pula perubahan pikiran (mindset) atau paradigma yang secara mendasar mengubah budaya perusahaan (misal nilai, norma, mental, dan perilaku individu dalam perusahaan) yang mendasar dalam penerapan GCG. Sebagai analogi, untuk mencari rumah di suatu jalan di sebuah kota yang telah banyak berubah kita tidak dapat menggunakan sebuah peta usang. Peta yang lama (paradigma lama) tidak dapat digunakan jika kondisi bisnis saat ini telah berubah. Kita membutuhkan peta yang baru, paradigma dan keyakinan-keyakinan baru terhadap governance system di mana hak-hak para pemegang saham (shareholders) dihormati dan dilindungi (Tjager dkk, 2003: 58).
Berangkat dari perubahan pikiran dan paradigma yang didasarkan pada prinsip-prinsip GCG di atas, maka tidak ada pilihan lain kecuali bahwa perusahaan di Indonesia, baik perusahaan publik maupun perusahaan BUMN harus mulai melihal Good Corporate Governance bukan sebagai asesoris belaka, tetapi suatu sistem nilai dan best practices yang sangat fundamental bagi peningkatan nilai perusahaan dan menuntut pendekatan perilaku dalam penerapannya.

SARAN
Berdasarkan pembahasan dan hasil kesimpulan di atas,Beberapa langkah yang dapat kita terapakan untuk mencapai tujuan perusahaan dengan memanfaatkan prinsip GCG antara lain:
(1) Prinsip-prinsip GCG diterjemahkan menjadi bagian dari kegiatan operasional
(2) Setiap strategi yang berkaitan dengan organisasi harus berbasis GCG
(3) Jadikan prinsip-prinsip GCG sebagai kebutuhan sehari-hari
(4) Terapkan implementasi GCG sebagai suatu proses yang berkelanjutan dan
(5) Setiap langkah-langkah perubahan strategis yang mengarah ke GCG harus dimulai dari kepemimpinan puncak
Dari langkah-langkah diatas manajemen perusahaan harusnya lebih memaksimalkan peran akuntan disuatu perusahaan,selain itu manajemen dan akuntan harus bekerja sama menerapkan prinsip Good Corporate Governance untuk mencapai tujuan perusahaan










DAFTAR PUSTAKA


Tangkilisan, Hessel Nogi 2003 mengelola kredit berbasis good corporate governance.jogjakarta:balirung & Co

Suwardjono ,2005 teori akuntansi perekayasaan pelaporan keuangan,jogjakarta:BPFE

Arifin, (2005). Peran Akuntan Dalam Menegakkan Prinsip Good Corporate Governance Pada Perusahaan Di Indonesia. Sidang Senat Guru Besar Universitas Diponegoro. Semarang.

G. Suprayitno, et all. 2004. Komitmen Menegakkan Good Corporate Governance: Praktik Terbaik Penerapan GCG Perusahaan di Indonesia. Jakarta: The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG).

Komite Nasional Kebijakan Governance. 2004. Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia. (Online), (http://www.governance-indonesia.com/component/option.com.

Leo J. Susilo dan Karlen Simarmata. 2007. Good Corporate Governance pada Bank: Tanggung Jawab Direksi dan Komisaris dalam Melaksanakannya. Jakarta: PT Hikayat Dunia.

Sutan Remy Sjahdeini. 1999. Pengembangan Fungsi Pengawasan Menuju Good Corporate Governance pada Milenium baru. Makalah disajikan pada Seminar yang diselenggarakan Yayasan Pendidikan Internal Auditor (YPAI), Graha Sucofindo, Jakarta pada Tanggal 29 September 1999, tidak diterbitkan.

Tjager, I.N., A. Alijoyo H.R. Djemat, dan B. Sembodo. (2003). Corporate governance: Tantangan dan kesempatan bagi komunitas bisnis Indonesia. Forum Corporate Governance in Indonesia (FCGI).

Zarkasyi, Wahyudin. 2008. Good Corporate Governance pada Badan Usaha Manufaktur, Perbankan, dan Jasa Keuangan Lainnya. Bandung: Alfabeta.